Sejarah Desa
-
2.2 SEJARAH DESA
A. Asal-Usul Pembentukan Desa
Tak ada yang mengetahui secara pasti kapan berdirinya desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar , Kabuapten Wonosobo. Namun, hasil penuturan cerita tokoh, Ada Sesepuh ( bukti makam),Beliau sosok yang pertama kali babat alas di Desa Lamuk, Beliau bernama Mbah Nur Iman. Beliau dipercaya sebagai tokoh pertama kali yang menetap dan memberi nama Lamuk.
Kala itu wilayah yang saat ini dinamai Desa Lamuk, merupakan hutan belantara dengan rerimbunan pohon pinus yang besar dan aneka tumbuhan lainnya yang sangat lebat. Letak yang strategis, karena berada dibawah kaki Gunung Sumbing membuat Mbah Nur Iman tertarik untuk singgah dihutan tersebut. Sebab, lokasinya sejuk dengan lahan yang masih alami.
Beliau singgah beberapa bulan di hutan tersebut, Mbah Nur Iman memiliki rencana untuk mencari pendamping hidupnya. Hingga akhirnya, ditemukanlah sosok perempuan (sampai saat ini tidak diketahui nama dan alamatnya) yang cantik dan dijadikan sebagai pendamping hidup Mbah Nur Iman. Berjalannya waktu, mereka menjalin hubungan yang harmonis. Namun, tanpa alasan yang pasti, beberapa bulan kemudian, Istri mbah Nur Iman pergi tanpa alasan. Beberapa bulan pergi tanpa alasan membuat Mbah Nur Iman mencari cara untuk memanggil sang Istrinya untuk pulang. Langkah yang dilakukan Mbah Nur Iman adalah dengan membakar kemenyan. Proses pembakaran kemenyan itu Mengumpulkan asap yang luar biasa yang hampir menyerupai awan, hal itu mampu mengundang sang Istri untuk pulang kerumah. Kemudian, sang Istri juga berjanji untuk tidak meninggalkannya kembali. Mereka kemudian berkeluarga, hingga akhirnya menetap dihutan tersebut dan memberikan nama hutan itu dengan nama kampung Lamuk.
Ada yang memaknakan Nama Lamuk memiliki arti “Ala tur Mukmin “ . pada saat terjadinya pembakaran Kemenyan yang mengumpulkan asap yang menyerupai awan maka orang menyebutnya dengan kata lamok , lamuk itu awan.
Bergantinya tahun, jumlah penduduk di dusun Lamuk mulai meningkat. Hingga akhirna, Mbah Nyai Legunder yang memiliki lahan di sebelah dusun Lamuk berencana untuk Bersinggah di hutan itu. Hingga akhirnya, memboyong keluarganya untuk pindah ke lahan yang luas disebelah Lamuk. Untuk memudahkan nama lokasi tersbut, keluarga Mbah Legunder memberikan lahan tersebut dengan sebutan Dusun Wonolobo. Wonolobo itu diambil dari kata Wono dan Lobo. Kata Wono memiliki makna Lahan. Dan Lobo memiliki arti Luas, jika dihubungkan maka Wonolobo memiliki makna lahan yang luas.
Tak berhenti di situ, keturunan Mbah Nur Iman semakin hari semakin banyak. Untuk melatih keturunanya bisa mandiri, maka Mbah Rengganis disuruh untuk menyinggahi lahan
yang ada disebelah Dusun Wonolobo. Mbah Rengganis masih bingung untuk memberikan nama dusun tersebut, namun karena ketaatannya terhadap Allah. Mbah rengganis memberikan lokasi tersebut dengan sebutan kampung Semanding. Semanding memiliki makna “Nyandeng karo Seng Kuoso” atau “pasrah terhadap Allah”.
Hampir puluhan keturunan Mbah Nur Iman bisa menempati lahan-lahan tersebut dan memberikan nama serta memanfaatkan lahannya untuk mata pencaharian. Namun, apalah daya, konflik keluarga terjadi, pada saat itu terjadi perang saudara diantara tiga dusun yakni Lamuk, Wonolobo dan Semanding. Perang saudara tersebut membuat sebagian warga di tiga dusun yang diprakarsai oleh Mbah Ronting untuk pindah atau mengungsi disebuah lahan yang jaraknya masih dekat, kemudian lahan tersebut yang pada akhirnya akan menjadi cikal bakal dusun Genting. Nama dusun Genting tersebut diambil dari makna kegentingan yang terjadi di 3 desa.
Ditengah-tengah kegentingan itulah, muncul pendatang bernama Mbah Lebu dan Mbah Demung. Mereka merupakan Mpu atau orang yang ahli membuat Keris. Hingga akhirnya, mereka menetap dilahan yang letaknya tak terlalu jauh dari Genting. Mereka menetap dan memberikan nama lahan tersebut Pangempon. Pangempon ini diambil dari kata “Empu” para penduduknya yang ahli membuat keris. Sampai saat ini, masih ada peninggalan keris yang tersisa dan diwariskan turun temurun ke anak keturunanya.
Tak hanya itu, kedatangan seseorang dilahan yang ada diwilayahnya membuat orang-orang resah. Hingga akhirnya, pendatang tersebut diajak bergabung ke Pangempon. Namun, mereka tidak mau, hingga akhirnya orang-orang Pangempon menamakannya sebagai dusun Pencil. Karena, letaknya yang terpencil dan tidak mau diajak untuk bergabung.
Berjalannya waktu, orang-orang Pangempon yang memiliki lahan di sebelahnya merasa jaraknya terlalu jauh. Sementara, tanamannya kurang aman. Hingga akhirnya, beberapa penduduk asli Pangempon memiliki rencana untuk pindah ke lahan yang dikelolanya. Mereka, menamakan lahan tersebut dengan sebutan Kertosobo. Kerto memiliki makna Rejeh dan Sobo memiliki makna disaba atau dikelola. Jika digabung, maka artinya lahan tersbut sangat baik untuk dikelola.
Setelah terbentuknya sebuah dusun-dusun dengan penghuninya dan dengan kesejahteraannya, pada tahun 1815 penjajah mulai memasuki kampung tersebut. Tak ada yang bisa dilakukan apa-apa, orang pribumi hanya bisa patuh dengan perintah penjajah.
Tatanan yang sudah terbentuk tersebut, oleh Belanda mulai ditata dan digabungkan menjadi satu. Awalnya sempat mendapat penolakan oleh warga di berbagai dusun.
Namun, karena kepiawian penjajah memanfaatkan orang pribumi, lambat laun ajakan penjajah dituruti oleh warga di 7 dusun, yakni Lamuk, Wonolobo, Semanding, Genting, Pangempon, Kertasobo dan Pencil dengan membentuk satu desa bernama Lamuk dengan satu kepemimpinan.
B. Pemimpin Desa
1. Baret: Periode 1900 - 1910
Mbah Baret merupakan keturunan Mbah Nur Iman yang pertama kali menjadi lurah di Desa Lamuk.
Kearifan mbah Baret, dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat. Membuat, Mbah Baret tak tega untuk mengambil upeti atau pajak kepada rakyat di 7 dusun. Padahal, sesuai kesepakatan, Mbah Baret harus menyetorkan upeti kepada Belanda. Lantaran tak mampu membayar upeti kepada Belanda, Mbah Baret akhirnya diturunkan dari jabatan lurahnya pada tahun 1910. Proses diturunkannya Mbah Baret itu, diawali dari kedatangan Wedana (Pimpinan Camat) ke Desa Lamuk. Wedana menelusuri alasan Mbah Baret tidak mampu menarik pajak. Hingga akhirnya, Wedana tersebut mengumpulkan semua warga di 7 dusun dengan ajakan, siapa yang bisa melunasi pajak maka akan diangkat menjadi lurah Lamuk menggantikan Mbah Baret.
- WONGSO DIMEJO 1910 – 1945
Mbah Wongsodimejo merupakan orang terkaya di Desa Lamuk. Mbah Wongsodimejo menerima tantangan dengan memberikan upeti kepada Wedana. Hingga akhirnya pada tahun 1910, Beliau diangkat menjadi Lurah Lamuk menggantikan Mbah Baret.
Musti kepemimpinan Mbah Wongsodimejo sangat baik dengan berbagai kemajuan. Karena, umurnya yang sudah cukup tua. Maka, pada tahun 1945 dilakukanlah pemilihan Kepala Desa. Ada dua kandidat yang maju, yakni Mbah Yosoharjo Lamuk dan Mbah Wangsadiparno (Pangempon). Setelah melalui proses pemilihan, akhirnya Mbah Yosoharjo terpilih. Sayangnya, ada aturan baru dari pemerintah, kepala desaharus bisa menulis. Lantaran, Mbah Yosoharjo tak bisa menulis, maka digantikanlah calon kedua Mbah Wangsadiparno. Tetapi, sama halnya, Mbah Wangsadiparno juga tak bisa menulis. Hingga akhirnya, Wedana mengadakan sayembara kepada penonton, bagi yang bisa menulis maka akan diangkat menjadi Lurah.
- ATMOREJO Priode 1945 – 1979
Mbah Atmorejo terbilang lurah yang paling lama, karena memimpin desa Lamuk sejak tahun 1945 sampai 1979. Prestasi yang dilakukannya, adalah membuka akses jalan, menyewakan tanah untuk kebutuhan desa. Setelah 32 tahun memimpin, dengan usia yang sudah tua dan sistem pemerintahan dirubah, barulah pada tahun 1980 muncul Peraturan Daerah (Perda) pemilihan Kepala Desa.
- ABDUL RAHMAN Priode 1980 – 1988
Mbah Abdul Rahman sebagai Kepala Desa pada tahun 1980. Kepemimpinan itu berjalan hingga 1988. Selama 8 tahun memimpin, Beliau berhasil melakukan pembangunan jalan, bangun SD 2 Lamuk, SD 3 Semanding, serta Jembatan Semanding. Bidang pendidikan mampu membebaskan buta aksara dan buta angka atau 3 B.
- TURMO SUGONO Priode 1989 – 1997
Bapak Sugono memimpin desa Lamuk sejak tahun 1989 hingga 1997. Sempat diera kepemimpinannya, Bapak Sugono ingin melestarikan budaya dengan membangun cungkup yang diduga tempat bersemedinya Mbah Baret. Akan tetapi, setelah dibangun mendapat penolakan dari warga, hingga akhirnya dibakar paksa oleh warganya sendiri. Prestasi yang berhasil diraihnya adalah pembangunan gedung PKK, perbaikan jalan, pembangunan saluran air bersih.
- MUGIYONO Priode 1998 – 2006, 2007 - 2012
Bapak Mugiyono sebagai Kepala Desa Lamuk ditahun 1998. Beliau masih keturunan Mbah Yoso, Bapak Mugiono terbilang cukup lama dalam memimpin desa Lamuk. Karena, Ia dipercaya untuk memimpin warga Lamuk selama 14 tahun dari tahun 1998 hingga 2012. Prestasi yang berhasil diraihnya adalah, rehab SD 1 Lamuk, Pelebaran Lapangan, Pengaspalan Jalan.
Lantaran terbentur aturan setelah dua periode tak boleh maju menjadi Kepala Desa akhirnya di tahun 2012 beliau mengakhiri perjuanganya menjadi Kepala Desa
- ZAENU RASIDI Priode 2012 – Sekarang
Proses pemilihan kepala desa ditahun 2012 mengantarkan Bapak Zainu Rasidi untuk memimpin desa Lamuk sampai saat ini. Beliau bukan kelahiran Lamuk melainkan pendatang dari wonogiri tetapi Beliau mampu menjadi pemimpin di Desa Lamuk sampai saat ini
Prestasi Bapak Zaenu Rasidi yaitu ; Gedung TK dan PAud, Mengangkat Perangkat Muda, Betonisasi, Aspal. Bumdes, Penataan Balai desa, Pelayanan Publik. Pustu. Pendidikan, Meningkat, Perpustakan juara I Jawa Tengah, Posyandu, Lansia, Posyandu Balita. Bumil. Kesenian, pendirian kelompok tani. Hidoponik serta reboisasi dan dapat mengurangi nilai kemiskinan , melakukan upaya penataan lingkungan yang tertib dan aman.